Beranda | Artikel
Shalat Sunah Rawâtib Ashar, Maghrib dan Isya
Senin, 5 Oktober 2020

SHALAT SUNNAH RAWATIB ‘ASHAR, MAGHRIB, ‘ISYA

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc

Dua edisi lalu telah dijelaskan mengenai shalat sunnah rawâtib Subuh dan Zhuhur. Untuk melengkapi penulisan shalat sunnah rawâtib yang menyertai shalat-shalat fardhu, berikut ini kami angkat berkaitan dengan shalat sunnah rawâtib ‘Ashar, Maghrib dan ‘Isya. Semoga penjelasan ini memberikan faidah bagi kita, dan selanjutnya kita mampu memeliharanya dengan cara mengamalkannya.

Shalat Sunnah Rawatib ‘Ashar
Shalat sunnah rawâtib ‘Ashar merupakan salah satu dari shalat-shalat rawâtib pendamping shalat fardhu, sebagaimana telah disebutkan pada pembahasan pada edisi sebelumnya.[1] Imam asy-Syaukani, ketika menyampaikan rincian shalat-shalat sunnah setelah menyampaikan rawâtib Zhuhur, beliau berkata: “Dan empat raka’at sebelum shalat ‘Ashar”.[2]

Demikianlah anjuran yang disampaikan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebagaimana Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengamalkannya. Oleh karena itu, menjaga kesinambungannya merupakan perkara yang dianjurkan, meskipun hukum shalat sunnah rawâtib ‘Ashar ini tidak sampai pada sunnah muakkad. Dikatakan oleh penulis kitab Shahîh Fiqih Sunnah, XXX : “Tidak ada untuk shalat ‘Ashar shalat sunnah rawâtib yang muakkad“.[3]

1. Keutamaan Shalat Sunnah Rawâtib ‘Ashar.
Shalat sunnah rawâtib ini dianjurkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebagaimana disampaikan Ibnu Umar Radhiyallahu anhu, bahwa  Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

رَحِمَ اللَّهُ امْرَأً صَلَّى قَبْلَ الْعَصْرِ أَرْبَعًا

Semoga Allah merahmati seseorang yang shalat sebelum ‘Ashar empat raka’at.[4]

2. Tata Cara Shalat Sunnah Rawâtib ‘Ashar.
Shalat sunnah rawâtib ‘Ashar dilakukan sebanyak empat raka’at secara bersambung dengan dua tasyahhud sebagaimana shalat fardhu yang empat raka’at, salam di akhir rakaat keempat. Adapun pelaksanaanya dilakukan sebelum shalat fardhu ‘Ashar.

Dijelaskan dalam hadits ‘Ashim bin Dhamrah Radhiyallahu anhu yang berbunyi:

عَنْ عَلِيٍّ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي قَبْلَ الْعَصْرِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ يَفْصِلُ بَيْنَهُنَّ بِالتَّسْلِيمِ عَلَى الْمَلَائِكَةِ الْمُقَرَّبِينَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُؤْمِنِينَ

Dari ‘Ali Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat sebelum ‘Ashar empat raka’at dipisah antaranya dengan taslîm kepada Malaikat Muqarabin, dan orang yang bersama mereka dari kaum muslimin dan mukminin.[5]

Dalam riwayat Ibnu Majah berbunyi:

سَأَلْنَا عَلِيًّا عَنْ تَطَوُّعِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالنَّهَارِ فَقَالَ إِنَّكُمْ لَا تُطِيقُونَهُ فَقُلْنَا أَخْبِرْنَا بِهِ نَأْخُذْ مِنْهُ مَا اسْتَطَعْنَا قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى الْفَجْرَ يُمْهِلُ حَتَّى إِذَا كَانَتْ الشَّمْسُ مِنْ هَا هُنَا – يَعْنِي مِنْ قِبَلِ الْمَشْرِقِ- بِمِقْدَارِهَا مِنْ صَلَاةِ الْعَصْرِ مِنْ هَا هُنَا – يَعْنِي مِنْ قِبَلِ الْمَغْرِبِ- قَامَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يُمْهِلُ حَتَّى إِذَا كَانَتْ الشَّمْسُ مِنْ هَا هُنَا – يَعْنِي مِنْ قِبَلِ الْمَشْرِقِ – مِقْدَارَهَا مِنْ صَلَاةِ الظُّهْرِ مِنْ هَا هُنَا قَامَ فَصَلَّى أَرْبَعًا وَأَرْبَعًا قَبْلَ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتْ الشَّمْسُ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَأَرْبَعًا قَبْلَ الْعَصْرِ يَفْصِلُ بَيْنَ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ بِالتَّسْلِيمِ عَلَى الْمَلَائِكَةِ الْمُقَرَّبِينَ وَالنَّبِيِّينَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُؤْمِنِينَ قَالَ عَلِيٌّ فَتِلْكَ سِتَّ عَشْرَةَ رَكْعَةً تَطَوُّعُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالنَّهَارِ وَقَلَّ مَنْ يُدَاوِمُ عَلَيْهَا

Kami bertanya kepada ‘Ali tentang shalat sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada siang hari”.
Maka ia menjawab: “Kalian tidak akan mampu melakukannya”.
Sehingga kami jawab: “Beritahukan kepada kami, nanti kami akan mengamalkan yang kami mampu”.
Beliau berkata: “Dahulu, apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Subuh, (beliau) memperlambat hingga matahari dari sebelah sini –yaitu dari arah timur- seukuran dari shalat ‘Ashar dari arah sini –yaitu dari arah barat- maka beliaupun bangkit lalu shalat dua raka’at, kemudian memperlambat hingga matahari dari arah sini –yaitu arah timur- seukuran dari shalat Zhuhur, dari sini beliau bangkit lalu shalat empat raka’at dan empat raka’at sebelum Zhuhur apabila matahari telah tergelincir dan dua raka’at setelahnya, dan empat raka’at sebelum Ashar (dengan) memisah antara dua rakaatnya dengan taslim kepada Malaikat Muqarrabin, para nabi dan pengikut mereka dari kaum muslimin dan mukminin”.
Ali berkata: “Itulah enam belas raka’at shalat sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada siang hari, dan sedikit yang terus-menerus melakukannya“.[6]

Setelah menyampaikan hadits ‘Âshim bin Dhamrah ini, Abu Isa at-Tirmidzi berkata: “Hadits Ali adalah hadits hasan. Ishâq bin Ibrahim tidak memisah dalam empat raka’at sebelum ‘Ashar, dan (ia) berargumen dengan hadits ini. Ishâq mengatakan, bahwa pengertian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memisah antaranya dengan taslîm adalah tasyahud. Sedangkan asy-Syafi’i dan Ahmad perpandangan shalat malam dan siang ialah dua raka’at dua raka’at. Keduanya memilih memisahkan pada empat raka’at sebelum ‘Ashar”.[7]

Adapun yang râjih berkenaan dengan pengertian hadits di atas, yaitu yang disampaikan Imam Ishâq bin Ibrahim. Dan hal ini dikuatkan dengan riwayat hadits ‘Âshim bin Dhamrah, sebagaimana terdapat pada riwayat an-Nasâ`i berikut ini.

 عَنْ عَاصِمِ بْنِ ضَمْرَةَ قَالَ سَأَلْتُ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ عَنْ صَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي النَّهَارِ قَبْلَ الْمَكْتُوبَةِ قَالَ مَنْ يُطِيقُ ذَلِكَ ثُمَّ أَخْبَرَنَا قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي حِينَ تَزِيغُ الشَّمْسُ رَكْعَتَيْنِ وَقَبْلَ نِصْفِ النَّهَارِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ يَجْعَلُ التَّسْلِيمَ فِي آخِرِهِ

Dari ‘Âshim bin Dhamrah, ia berkata: “Aku bertanya kepada ‘Ali bin Abi Thalib tentang shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada siang hari sebelum shalat fardhu. Dia menjawab,’Siapa yang mampu melakukannya?’ Kemudian ia menceritakan kepada kami. Dia berkata,‘Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat ketika tergelincir matahari dua rakaat, dan sebelum tengah hari empat rakaat menjadikan taslîmnya di akhirnya’.”[8]

Demikian juga pengertian taslîm dalam hadits ini, seandainya merupakan salam penutup shalat, maka tentunya harus ada niat dari orang yang shalat untuk salam kepada malaikat, para nabi dan pengikutnya, dan hal ini jelas tidak ada syari’atnya. Sehingga pernyataan Ishâq bin Ibrahim bahwa pengertian taslîm adalah tasyahud itulah yang râjih. Apalagi dalam tasyahud terdapat ucapan salam (taslîm) kepada hamba Allah yang shalih, baik di langit maupun di bumi.

Oleh karena itu, hadits ini mengkhususkan keumuman shalat malam dan siang itu dua raka’at-dua raka’at.

Wallahu a’lam.

Shalat Sunah Rawatib Maghrib
Shalat sunnah rawâtib Maghrib merupakan salah satu shalat rawâtib yang muakkad. Pensyari’atan dan keutamaannya telah dijelaskan dalam hadits Ummu Habibah dan Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu.[9]

1. Tata Cara Shalat Sunnah Rawâtib Maghrib.
Shalat sunnah rawâtib Maghrib dilakukan sebanyak dua raka’at setelah shalat fardhu Mahgrib.

2. Tempat Pelaksanaan Shalat Sunnah Rawâtib Maghrib.
Di antara contoh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam melaksanakan shalat sunnah ialah di rumah, kecuali jika terdapat halangan. Namun untuk shalat sunnah rawâtib Maghrib ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak pernah melakukannya di masjid.

Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata: “Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu melakukan sebagian besar shalat sunnah, dan shalat sunnah yang tidak memiliki sebab khusus (pengerjaaannya) di rumah, apalagi shalat sunnah rawâtib Maghrib, karena sama sekali tidak pernah dinukilkan beliau mengerjakannya di masjid”.[10]

Demikianlah, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat sunnah rawâtib Maghrib di rumah, sebagaimana dijelaskan dalam hadits-hadits berikut.

  • Hadits Mahmûd bin Labîd Radhiyallahu anhu yang berbunyi:

أَتَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَنِي عَبْدِ الْأَشْهَلِ فَصَلَّى بِهِمْ الْمَغْرِبَ فَلَمَّا سَلَّمَ قَالَ ارْكَعُوا هَاتَيْنِ الرَّكْعَتَيْنِ فِي بُيُوتِكُمْ

Dahulu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengunjungi Bani ‘Abdulasy-hal, lalu memimpin shalat Maghrib mereka. Ketika salam, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Shalatlah dua raka’at ini di rumah-rumah kalian”.[11]

  • Ka’ab bin ‘Ujrah Radhiyallahu anhu , ia berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَى مَسْجِدَ بَنِي عَبْدِ الْأَشْهَلِ فَصَلَّى فِيهِ الْمَغْرِبَ فَلَمَّا قَضَوْا صَلَاتَهُمْ رَآهُمْ يُسَبِّحُونَ بَعْدَهَا فَقَالَ هَذِهِ صَلَاةُ الْبُيُوتِ

Sesungguhnya dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengunjungi masjid Bani ‘Abdulasy-hal lalu shalat Maghrib di masjid tersebut. Ketika selesai shalat, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat mereka melakukan shalat sunnah setelahnya, maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Ini adalah shalat rumah”.[12]

  • Ibnu Umar Radhiyallahu anhu, ia berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يُصَلِّي الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْجُمْعَةِ وَ لاَ الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ إِلاَّ فِيْ أَهْلِهِ

Dahulu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak shalat dua raka’at sesudah Jum’at dan dua raka’at setelah Maghrib, kecuali di rumahnya.[13]

Demikian pula menurut Imam Ahmad, bahwa sunnah mengerjakan dua raka’at setelah maghrib ialah di rumah.[14] Ibnul-Qayyim menyatakan: Dalam sunnah rawâtib Maghrib ada dua sunnah, salah satunya tidak dipisah antara Maghrib dengan pembicaraan, … sunnah kedua yaitu dikerjakan di rumah.

3. Bacaan Dalam shalat Sunnah Rawâtib Maghrib.
Dalam mengerjakan shalat sunnah rawâtib Maghrib ini, pada dua raka’atnya disunnahkan membaca, yaitu surat al-Kâfirun dan al-Ikhlas, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Ibnu Mas’ud:

مَا أُحْصِي مَا سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَفِي الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلَاةِ الْفَجْرِ بِقُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَقُلْ هُوَ اللَّهُ

Saya tidak dapat menghitung apa yang saya telah dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam membaca dalam dua raka’at setelah Maghrib dan dua raka’at sebelum shalat Subuh dengan surat al-Kâfirun dan al-Ikhlas.[15]

Shalat Sunah Rawatib ‘Isya
Shalat sunnah rawâtib ‘Isya merupakan salah satu shalat rawâtib yang muakkad. Pensyariatan dan keutamaannya telah dijelaskan dalam hadits Ummu Habibah dan Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu terdahulu.

Shalat rawâtib ‘Isya ini dilakukan di rumah sebanyak dua raka’at. Yaitu dilakukan setelah shalat fardhu ‘Isya. Sebagaimana disampaikan dalam hadits Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu dan hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma yang berbunyi:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ قَالَ سَأَلْتُ عَائِشَةَ عَنْ صَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ تَطَوُّعِهِ فَقَالَتْ كَانَ يُصَلِّي فِي بَيْتِي قَبْلَ الظُّهْرِ أَرْبَعًا ثُمَّ يَخْرُجُ فَيُصَلِّي بِالنَّاسِ ثُمَّ يَدْخُلُ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ وَكَانَ يُصَلِّي بِالنَّاسِ الْمَغْرِبَ ثُمَّ يَدْخُلُ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ وَيُصَلِّي بِالنَّاسِ الْعِشَاءَ وَيَدْخُلُ بَيْتِي فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ

Dari ‘Abdullah bin Syaqiq, ia berkata: “Aku telah bertanya kepada ‘Aisyah tentang shalat sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?” Maka beliau Radhiyallahu anhuma menjawab: “Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu shalat di rumahku sebelum Zhuhur empat raka’at kemudian keluar dan shalat mengimami manusia, kemudian masuk dan shalat dua raka’at. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu mengimami manusia shalat Maghrib, kemudian masuk (rumah) lalu shalat dua raka’at, dan mengimami manusia shalat ‘Isya dan masuk rumahku lalu shalat  dua raka’at”.[16]

Demikianlah penjelasan secara ringkas tentang shalat sunnah rawâtib yang mendampingi shalat lima waktu. Semoga Allah memudahkan kita untuk mengamalkannya, dan menjadikannya sebagai amalan harian. 

Wabillahit-taufiq.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XI/1428/2007M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
______
Footnote
[1] Lihat Majalah As-Sunnah, Edisi 05/Tahun XI/1428H/2007M, Rubrik Fiqh, halaman 49-52.
[2] Lihat al-Adilah ar-Radhiyah ‘alal-Durar al-Bahiyah fil-Masâ`il al-Fiqhiyah, Muhammad Shubhi Hasan Khalâf, hlm. 59, dan Raudhatun-Nadiyah bi Syarhil-Durar al-Bahiyah, Muhammad Shidiq Hasan Khan (1/292).
[3] Shahîh Fikih Sunnah (1/379).
[4] HR Ahmad dalam al-Musnad (4/203), at-Tirmidzi dalam kitab Shalat, Bab: Mâ Jâ`a fil-Arba’ Qablal-‘Ashr, no. 430, dan Abu Dawud dalam kitab Shalat, Bab: ash-Shalat Qablal-‘Ashr (no. 1271, 1/490). Syaikh Nashiruddin al-Albâni menyatakan sebagai hadits hasan dalam Shahîh Sunan Abi Dawud
[5] HR at-Tirmidzi dalam kitab ash-Shalat, Bab: Mâ Jâ`a fil-Arba’ Qablal-‘Ashr no. 424 dan 429.
[6] HR at-Tirmidzi, kitab ash-Shalat, Bab: Kaifa Kâna Tathawwu’ Nabi n bin-Nahâr no. 598, dan Ibnu Majah, kitab Iqâmatush-Shalat was-Sunnah fîha, Bab: Mâ Jâ’a fîmâ Yustahab minat-Tathawwu’ bin-Nahâr no. 1161, dan lafazh ini miliknya.
[7] Sunan at-Tirmidzi (2/294-295).
[8] HR an-Nasâ`i dalam kitab al-Imâmah, Bab: ash-Shalat Qablal-‘Ashr wa Dzikru Ikhtilâf an-Naqilina ‘an Abi Ishâq fî Dzalika (2/119-120). Hadits ‘Âshim bin Dhamrah ini dihukumi sebagai hadits hasan oleh Syaikh Nashiruddin al-Albâni rahimahullah dalam Silsilah al-Ahâdits ash-Shahîhah no. 237.
[9] Lihat Majalah As-Sunnah, Edisi 05/Tahun XI/1428H/2007M, Rubrik Fiqh, halaman 49-52.
[10] Zâdul-Ma’ad (1/302).
[11] HR Ahmad dalam Musnad-nya (5/428), dan Syaikh al-Arnauth sanadnya kuat sebagaimana beliau sebutkan ketika mentahqiq kitab Zâdul-Ma’ad. Hadits ini juga diriwayatkan Ibnu Majah dalam kitab Iqâmatush-Shalat was-Sunnah fîha, Bab: Mâ Jâ’a fî Rak’atain Ba’dal-Maghrib no. 956, dari hadits Rafi’ bin Khudaij, dan dinyatakan hasan oleh Syaikh Nashiruddin al-Albâni di dalam Shahîh Ibnu Majah.
[12] HR Abu Dawud dalam kitab ash-Shalat, Bab: Rak’atai al-Maghrib Aina Tushaliyâni, no. 1300, dan dinyatakan hasan oleh Syaikh Nashiruddin al-Albâni dalam Shahîh Sunan Abi Dawud.
[13] HR Abu Dawud ath-Thayalisi dalam Musnad-nya, dan hadits ini dinilai shahîh oleh Syaikh Nashiruddin al-Albâni di dalam Shahîh al-Jâmi’ no. 4857.
[14] Dinukil dari Zâdul-Ma’ad (1/302).
[15] HR at-Tirmidzi, kitab ash-Shalat, Bab: Mâ Jâ`a fîr-Rak’atain Ba’dal-Maghrib wa Qiratau fîhima. No. 432, dan dinilai hasan shahîh oleh Syaikh Nashiruddin al-Albâni di dalam Shahîh Sunan at-Tirmidzi.
[16] HR Muslim di dalam kitab Shalat al-Musâfir wa Qashruhâ, no. 1201.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/23515-shalat-sunah-rawatib-ashar-maghrib-dan-isya-2.html